link href='http://imageshack.us/photo/my-images/98/sdsao.jpg/' rel='SHORTCUT ICON'/> ♥♥: Saleh Mengayuh Sampannya ke Seberang

Rabu, 16 Juni 2010

Saleh Mengayuh Sampannya ke Seberang

Saleh tercenung sendirian di sampan yang mengapung di kapuas. Pikirannya tak menentu. Ada gelisah dan dendam yang berbaur dengan gelombang kecil dari motor air yang meluncur ke hilir. Sementara matahari semakin ke barat saja, sebentar lagi redup. Gertak mulai kelihatan sepi. Bocah-bocah kecil yang semenjak tadi bersenda gurau menunggu emaknya selesai mencuci, sudah pada naik ke darat. Yang tersisa cuma satu dua perawan yang sibuk menggosok badannya dengan sabun. Perawan-perawan ini sepertinya sengaja untuk turun mandi ketika hari beranjak gelap. Barangkali mereka malu kulit coklatnya yang mulus ditonton bujang-bujang yang hilir mudik menyusuri gertak.
Sayup-sayup adzan magrib merambat di permukaan. Saleh merebahkan dirinya. Dibiarkannya sampan tua warisan kakeknya terombang-ambing dimainkan gelombang setelah ia yakin benar telah menambatkan talinya di tepi.
Tiba-tiba terdengar suara teriakan dari atas gertak.
"Ada orang mati di atas sampan!"
Beberapa orang yang mendengar langsung menghambur ke suara teriakan. Lelaki yang berteriak-teriak tersebut menunjuk-nunjuk ke arah sampan tempat Saleh terbaring. Orang-orang langsung mendekat. Tapi begitu mengetahui bahwa sampan itu Saleh, mereka langsung menghentikan buruannya.
"Alah, Saleh. Paling-paling cuma melamun." Wajah mereka kecewa.
"Ayo pulang. Kenapa pulak kita ngurus bujang satu itu. Mau mati apa mau hidup, kehendak hati dia lah. Lagi pulak kapuas tak rugi kehilangan bujang macam itu."
"Tapi kita tengok dulu. Kalau mati sungguhan macam mana?"
Seseorang melemparkan batu kecil ke samping sampan tak berkemudi itu. Menyipratkan airnya, sebagian mengenai tubuh Saleh. Lelaki itu terkejut. Kedua tangannya meraih dua sisi sampan, mencari tahu ada apa gerangan. Begitu mengetahui Saleh bergerak, tanpa dikomandoi serempak orang-orang merutuk.
"Uuu…!" Mereka bubar.
Kenapa mereka bubar, rasanya cukup beralasan. Barangkali orang yang berteriak tadi belum mengenal betul siapa Saleh. Saleh adalah bujang asli kapuas yang tidak tamat SMP. Pertama karena alasan ekonomi. Alasan kedua, karena Saleh memang anak yang malas lagi nakal. Sewaktu SD dia sudah kenal dengan arak dan bergaul dengan bujang-bujang yang kesehariannya mabuk, judi dan main perempuan. Satu-satunya keterampilan yang dimiliki Saleh adalah mengayuh sampan. Rasanya ini tak layak disebut keterampilan, sebab mengayuh sampan adalah sesuatu yang mutlak harus dikuasai anak-anak kapuas.
Pagi sampai sore hari Saleh, seperti yang dilakukan bujang-bujang lainnya, menjadi penjual jasa mengantar orang-orang ke seberang. Kebanyakan penumpangnya adalah para buruh pabrik kayu. Malam harinya Saleh ikut pak cik Abdul mukat , dan hasilnya dipakainya beli arak dan main judi. Kebiasaan itu dilakukannya bertahun-tahun. Ayah emaknya yang semakin hari semakin renta, tak hirau dengan tabiat anak lelakinya. Bukan tak hirau, tapi sebagai orang tua mereka tak punya kuasa, kalah dengan tradisi yang entah sudah berapa turunan ini. Kelas sosial masyarakat sungai tak bisa juga disalahkan. Yang jelas Saleh tumbuh sebagai anak kapuas seperti orang kebanyakan. Dan ia merasa bangga.
Ketika umur Saleh menginjak 20 tahun, nasib baik singgah padanya. Bang Deman, orang yang pertama kali mengajarkannya ngarak ketika masih kecil dulu, suatu hari menjadi penumpang sampan yang dikayuhnya. Tapi bang Deman yang ini bukan bang Deman yang dulu. Rambutnya sudah dipotong pendek, pakaiannya rapi, celana jeans, kemeja, sepatu kulit, kaca mata hitam dan topi rimba menghiasi kepalanya.
"Oi, kawan lama. Masih betah juga ngayuh sampan?" Ejek bang Deman. Yang diajak bicara cuma tersenyum sambil terus sibuk mengendalikan arus dengan kayuhnya.
"Cobalah kau ni naik ke darat. Lalu tengok orang-orang lalu-lalang pakai honda , tidak kepingin apa kau macam tu?"
"Penghasilan nambang ni tak seberapa, Bang. Macam Abang ni tak paham saja. Jangankan untuk beli honda, untuk makan saja perut ini kembang kempes."
Kedua orang itu tertawa keras. Sesampai di seberang, mereka membuat kesepakatan untuk minum di tempat biasanya selepas tengah malam nanti.
"Berapa aku harus bayar?"
"Abang ini nanya apa menghina? Jalan sajalah, macam baru kenal semalam saja."
"Tapi aku kan juga boleh sombong." Bang Deman tak melanjutkan ucapannya. Ia menarik dompet, mengeluarkan selembar dua puluh ribuan, kemudian meletakkannya di atas sampan lalu pergi meninggalkan Saleh.
Inilah awal perubahan nasib Saleh. Di warung pak cik Taher, dengan hidangan khas arak Kalimantan dan kacang kulit serta kepulan asap rokok, mereka melangsungkan nostalgia. Lengkap ditemani dua perempuan seksi. Tapi tampaknya arak yang diminum mereka batasi, sebab ada hal serius yang tengah dibicarakan. Dengan bangga bang Deman menceritakan pengalamannya bekerja di perbatasan. Bang Deman memang tak menceritakan di perusahaan mana ia bekerja, tapi mampu membuat Saleh percaya bahwa cukup mengawasi kayu-kayu yang dihanyutkan untuk kemudian diangkut ke negara tetangga, dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama sudah dapat menjadikan dia kaya. Tanpa berpikir panjang Saleh langsung menyepakati ajakan bang Deman bekerja di perbatasan, yang tentunya seluruh ongkos perjalanan dan makan ditanggung bang Deman.
Tiga hari setelah pertemuan malam itu, Saleh dan bang Deman berangkat. Meninggalkan kapuas, memasuki hutan rimba untuk menyatu dengan para penebang kayu. Perihal perbedaan kebudayaan (sungai dan hutan) yang berpengaruh dengan tingkah polah, Saleh tak pernah mempermasalahkan. Yang penting, bagi Saleh, mengantongi banyak uang dan bisa pulang dengan gagah.
"Apa rencanamu kalau sudah kaya nanti?" Tanya bang Deman.
"Kawin!"
***
"Saleh balik… Saleh balik…!" Beberapa bujang yang nongkrong di pinggir gertak melonjak girang. Kawannya ngarak yang ditelan hutan selama kurang lebih empat tahun sudah kembali. Tentu saja dengan penampilan 180 derajat berubah. Saleh pulang dengan sombong di dadanya.
Berita kepulangan Saleh cepat menyebar. Mereka kagum dengan hasil yang dibawa bujang pemabuk itu. Rumahnya pun sering dikunjungi para tetangga. Bertanya tentang pengalaman di hutan, apa pekerjaannya, berapa besar gaji yang didapat dan segala macam pertanyaan yang membuat Saleh kerepotan menjawabnya. Ada pula yang singgah cuma untuk beramai-ramai nonton VCD yang dibelinya di kota.
Begitulah, orang-orang yang semula acuh dengan Saleh dan keluarganya, berubah menjadi simpati. Tentu saja dengan maksud dan tujuan yang beraneka rupa. Meski ada pula yang iri dengan keberhasilan Saleh. Tapi Saleh tak pernah memperdulikannya.
Mengenai pekerjaannya, Saleh bercerita bahwa ia bekerja sebagai pengolah kayu di CV. Rimba Bakti. Kalau ada waktu senggang, Saleh dan bang Deman mencari tambahan di Kuching (Malaysia Timur). Meski kecil dalam hitungan ringgit tapi besar dalam hitungan rupiah. Semua itu diceritakannya dihampir semua orang yang ia jumpai. Keseharian Saleh setelah ia pulang kampung dihabiskannya dengan menghambur-hamburkan uang dan berkoar-koar. Cuma ke beberapa kawan akrabnya saja Saleh mengatakan (dan ini rahasia/jangan bilang siapa-siapa) bahwa sebenarnya yang dilakukannya bersama bang Deman adalah menyelundupkan kayu ke negara tetangga. Bahwa tidak sulit menyuap dan mengelabui petugas perbatasan untuk selanjutnya proses penyelundupan lancar-lancar saja. Hasilnya, kalian semua dapat membayangkan. Saleh menepuk dadanya.
Ketika ada yang bertanya kapan kembali beraksi. Saleh tak menjawab. Melainkan menggelengkan kepala. Sejenak ia terdiam. Matanya menerawang menembus kedalaman kapuas, lalu melanjutkan kisahnya. Bahwa kepulangannya ke sungai ini sebenarnya dalam rangka pelarian. Ia berhasil lolos dari kepungan tentara yang mengetahui penyelundupan ini. Rupanya ada yang berkhianat karena jatah yang diterimanya tidak adil. Akibatnya beberapa kawan, termasuk bang Deman saat ini mendekam di penjara. Tapi sekali lagi, pesan Saleh kepada kawan-kawan akrabnya, ini rahasia dan jangan bilang siapa-siapa.
Sebagai orang kaya di tengah masyarakat miskin memang menjadi sorotan. Dari hari kehari berita kesuksesan Saleh di perbatasan selalu menjadi tema utama disetiap perbincangan. Orang tua, muda, bujang, terutama para dara sebaya. Salah satunya Ijah, gadis yang dulu sering menumpang sampan Saleh dengan gratis karena kecantikannya, yang dulu pernah menolak ungkapan cinta sang pengayuh sampan, yang dulu pernah pula menampar wajah Saleh karena berkata-kata kurang sopan, sehingga akibatnya Saleh dipukuli anak buah mandor pabrik, sebab bang mandor adalah orang yang berpeluang untuk mendapatkan cinta Ijah dibanding para buruh, apalagi Saleh yang hanya seorang pengayuh sampan.
Tak perlu Saleh repot-repot mengejar-kejar, dara cantik itu akhirnya datang juga. Sementara Saleh bukanlah tipe bujang yang suka jual mahal begitu mengetahui Ijah mulai meliriknya, karena bagi orang kampung macam Saleh, cinta bukanlah hal yang rumit sehingga harus dijual mahal segala. Cuma perkara bagaimana hasrat tersalurkan dan kalau si dara cocok, bolehlah kiranya melanjutkan ke pelaminan. Hubungan antara bujang mantan penyelundup kayu dan dara buruh pabrik kayu pun terjalin.
Waktu merambat. Pertukaran pasang surut air kapuas tetap berjalan seperti biasanya. Pada musim kering matahari di atas katulistiwa garang membakar. Debu-debu pabrik berterbangan menimbulkan aroma khas bagi masyarakat pinggir kapuas. Para pencari ikan mulai resah, sebab air sungai telah berubah rasa menjadi lebih payau, tapi perkara musim bukanlah halangan bagi mereka. Banyak tanah kosong di darat yang bisa disulap menjadi ladang. Bukan hal sulit untuk membakar belukar sebab rerumputan telah berubah menjadi kuning. Beberapa yang masih enggan meninggalkan kapuas, sibuk memperbaiki pukat mereka yang rusak, dan pada malam hari sampan mereka kayuh menuju daerah hulu. Di hulu sungailah ikan-ikan bermigrasi. Perjalanan ke hulu sungai mereka tempuh, menembus dingin dan kabut asap bekas pembakaran lahan, setidaknya supaya mampu bertahan hidup hingga musim selanjutnya.
Untunglah di daerah ini musim kemarau tak berarti selama enam bulan hujan tidak turun. Sebab sebulan saja tidak turun hujan, berarti bencana kekeringan luar biasa. Air sungai yang payau akan berubah asin, ikan-ikan di hulu semakin jarang ditemukan, kebakaran di belukar terus merembet ke hutan rimba. Akibatnya rumah sakit penuh dengan pasien paru-paru, muntaber dan diare. Begitulah, sekali dua dalam sepekan hujan mesti turun dimusim kemarau. Meski hanya sebentar, sekadar menyiram jalan raya yang penuh debu, memadamkan api di belukar, juga menetralkan rasa air kapuas.
Pada musim hujan air sungai kembali menjadi tawar. Orang-orang di darat kembali ke sungai, meninggalkan ladangnya begitu saja yang dalam satu dua minggu rerumputan liar kembali bertumbuhan untuk satu bulan kemudian, mereka yang bukan penduduk asli takkan pernah mengira bahwa pada musim kering tanah tersebut mampu menghidupi banyak keluarga. Dimusim hujan wajah sungai sedikit redup. Siang terasa lebih singkat dari biasanya. Para pemabuk semakin gila saja. Mereka memakai kesempatan ini untuk mengkonsumsi arak lebih banyak lagi. Dan ini merupakan kebanggan tersendiri.
Hampir dua tahun hubungan asmara antara Saleh dan Ijah. Tapi selama hampir dua tahun ini hubungan tersebut tidak selancar apa yang diharapkan. Pada masa-masa awal, tak dapat dipungkiri bahwa Salehlah bujang yang paling bahagia sepanjang kapuas. Menuruti apa yang diminta dara pujaannya, mengurangi ngarak, mencoba untuk hidup lebih teratur, semua itu tak sulit bagi Saleh sebab harta yang dimilikinya mencukupi. Satu hal yang sedikit membuat Saleh jengkel dengan kekasihnya, setiap ia mencoba serius berbicara tentang perkawinan, selalu saja Ijah menghindari.
"Jangan terburu-buru dulu, Bang. Kita kan belum begitu mengenal hati masing-masing."
"Belum kenal macam mana?" Umpat Saleh. Lebih dari satu tahun memadu kasih baginya sudah cukup lama. Perkenalan macam apa lagi yang diharapkan Ijah? Saleh tak habis pikir. Tapi bujang itu tak sanggup berbuat banyak. Akhirnya ia menurut. Sambil berandai-andai, semoga apa yang dikatakan Ijah ada benarnya. Tapi sampai kapan pengandaian itu? Sementara uang yang dimiliki Saleh semakin hari semakin menipis.
Ijah tak pernah peduli. Hingga suatu hari, ketika harta hasil penyelundupan kayu habis sudah, barulah Ijah menuntut minta dilamar dengan mas kawin yang tidak wajar.
"Kalau dalam dua minggu ini Abang tidak mampu menyediakan mas kawin itu. Jangan salahkan Ijah kalau menerima lamaran mandor pabrik."
Sudah sangat jelas bahwa Saleh tak sanggup memenuhinya. Dapat dari mana uang untuk membeli segala permintaan Ijah dalam waktu dua minggu. Kembali ke perbatasan adalah hal yang tak mungkin dilakukan. Sebab sebenarnya saleh adalah seorang pemalas yang tak dapat berbuat apa-apa tanpa bang Deman. Pernah pula terbersit di kepala Saleh untuk mencuri kayu yang dihanyutkan di kapuas. Tapi urung dilaksanakannya mengingat resiko yang begitu besar. Bagaimana kalau anak buah mandor mengetahuinya. Bisa-bisa kepalanya hilang ditebas mandau bang mandor.
***
Malam telah sempurna. Arus kapuas benar-benar tenang. Satu-satu gerimis-gerimis kecil menombak sungai. Cuaca meninabobokan orang-orang. Cuma warung pak cik Taher yang kelihatan bernyawa. Cekikik perempuan lebur dalam aroma alkohol. Di seberang, suara mesin pabrik memahat sunyi. Sampan saleh masih terombang-ambing. Tapi kali ini ia tak lagi rebah. Besok adalah hari perkawinan Ijah dengan bang mandor. Diambilnya kayuh, lalu diluncurkannya sampan warisan itu ke arah seberang, menuju pabrik, tempat dimana mandor sedang tertidur pulas disalah satu kamar. Mungkin sedang bermimpi indah tentang malam pertama esok hari.
Saleh memang tak punya apa-apa lagi. Tidak juga harta maupun Ijah. Tapi sebagai anak yang lahir dan dibesarkan di air kapuas, ia masih punya harga diri yang tak pernah berhenti membara. Panas. Seperti matahari katulistiwa. Di tambatkannya sampan di gertak. Matanya tajam dengan mandau terhunus di genggaman.
"Kalau tidak kau, aku yang mati!" Desisnya di kegelapan.


Pontianak, 2004

Slideshow

Terima Kasih atas Kunjungan anda Lain Kali datng lagi ke sini dilihat