link href='http://imageshack.us/photo/my-images/98/sdsao.jpg/' rel='SHORTCUT ICON'/> ♥♥: Fatwa Haram Rebonding dan Foto Prewedding Tidak Untuk Mengadili Masyarakat

Sabtu, 12 Juni 2010

Fatwa Haram Rebonding dan Foto Prewedding Tidak Untuk Mengadili Masyarakat

Hasil “Bahtsul Masail” yang digelar Forum Musyawarah Pondok Pesantren (FMPP) se-Jatim dan Madura di Pondok Pesantren Putri Tahfidzul Qur`an Lirboyo, Kota Kediri, yang memunculkan persoalan hukum meluruskan rambut (rebonding) bagi seorang wanita bukan bertujuan mengadili masyarakat.

“Hasil `Bahstul Masail` itu bukan untuk mengadili, melainkan menjawab persoalan `waqi`iyah` (terkini) yang terjadi di tengah-tengah masyarakat,” kata Ketua FMPP se-Jatim dan Madura, K.H. Abdul Mu`id Shohib, di Surabaya, Minggu.

Oleh sebab itu, dia mengimbau masyarakat tidak perlu resah dengan keputusan hukum yang dihasilkan dalam pertemuan tersebut.

“Harusnya masyarakat bisa menyikapinya secara dewasa karena kami mengkajinya dalam sudut pandang `syar`i` (agama) dan sifatnya pun `tafshili` (terperinci) tergantung kondisi,” kata salah satu pengasuh PP Lirboyo yang akrab disapa Gus Mu`id itu.

Dalam pandangan agama, dia memaparkan rambut bagi seorang wanita merupakan bagian dari aurat dan bentuk kehormatan yang tidak boleh sembarangan dipertontonkan kepada orang lain yang bukan muhrimnya.

“Boleh-boleh saja rambut itu direbonding atau diubah sesuai tren mode, asalkan dilakukan bagi wanita yang bersuami karena itu merupakan kewajiban agar istri selalu terlihat cantik di depan suami. `Rebonding` hukumnya haram kalau dilakukan wanita yang belum bersuami,” katanya.

Tujuan rebonding bagi wanita yang belum bersuami, lanjut dia, sama halnya dengan mengumbar aurat. “Di sinilah letak hukum haramnya,” katanya seraya mengutip beberapa kitab fikih, di antaranya Raudlah At Thalibin, Tuhfah Al Muhtaj, Bughyah Al-Mustarsyidin, Fath Al Bari, dan Syarhu An Nawawi.

Dalam “Bahtsul Masail” itu juga dibahas hukum atas sesi pemotretan bagi calon mempelai pria dan wanita sebelum melangsungkan akad nikah (pre-wedding).

Hukumnya pun tidak mutlak haram, tetapi ada pengecualian terkait keadaan-keadaan tertentu, misalnya tidak sampai menimbulkan penilaian negatif dari masyarakat.

Gus Mu`id menganalogikan hukum “rebonding” dan “pre-wedding” itu dengan hukum shalat lima waktu bagi pemeluk agama Islam.

“Shalat lima waktu hukumnya wajib bagi orang Islam. Kalau mereka melanggar, secara individu harus bertanggung jawab kepada Allah. Tidak ada lembaga di dunia ini yang bisa mengadili seseorang yang meninggalkan shalat. Sama halnya dengan `rebonding` dan `pre-wedding` itu, mau dilanggar atau dipatuhi, silakan. Tanggung jawab individu hanya kepada Tuhan. Kami hanya memberikan pencerahan dari sudut syar`i dan terperinci sesuai keadaan,” katanya seraya mengingatkan masyarakat untuk tidak sepotong-potong memahami hukum “rebonding” dan “pre-wedding” sebagaimana marak diberitakan di media massa.

Ia juga menyatakan, hasil “Bahtsul Masail” bukan merupakan fatwa dan tidak dalam kapasitas untuk menandingi Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga yang ditunjuk pemerintah untuk mengeluarkan fatwa agama.

“Sudut pandang kami dan MUI pun juga berbeda. Kami berpijak pada ajaran `Ahlussunnah wal Jama`ah`, sedangkan MUI ada unsur-unsur lain, karena tidak semuanya berazaskan seperti kami,” kata Ketua Dewan Syura DPC Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Kota Kediri itu.

(sumber: finroll)

Slideshow

Terima Kasih atas Kunjungan anda Lain Kali datng lagi ke sini dilihat