link href='http://imageshack.us/photo/my-images/98/sdsao.jpg/' rel='SHORTCUT ICON'/> ♥♥: Aku, Kau Dan Tembakan itu

Rabu, 16 Juni 2010

Aku, Kau Dan Tembakan itu

Aku hanya bisa terdiam, ketika demonstrasi di depan sana terus memaksamu untuk berteriak-teriak. Aku hanya bisa berdoa semoga moncong senapan digenggaman orang-orang berseragam itu tidak membelai pipimu yang lembut. Kau terlalu cantik untuk menjadi seorang demonstran, manis. Jilbab putihmu akan kotor dan akhirnya kusam ditelan idiolegi-idiologimu yang belum tentu mendapat perhatian dari mereka, orang-orang yang duduk di gedung sana.

“Kawan-kawan… kita sebagai perempuan sudah selayaknya untuk tidak terus di bawah ketiaknya para lelaki yang selalu berbau masam itu!” Bagi mereka, kau adalah seorang Kartini, yang dengan gigihnya menuntut hak-hak kalian sebagai perempuan untuk diperlakukan secara adil. Tapi tidak bagiku. Engkau adalah seorang yang sangat aku cintai. Meskipun sampai saat ini aku hanya bisa membiarkan cintaku menggantung di balik mimpi dan harapan. Yang jelas aku tidak ingin kehilangan dirimu hanya gara-gara sebait ideologi.
Teriakan-teriakan dari belakang terus menggentarkan gedung rakyat di depan sana. Mereka terus maju. Tak peduli dengan kawat berduri yang sudah menunggu. Berhasil. Ribuan perempuan entah dari mana yang membanjiri tempat itu berhasil menumbangkan kawat berduri di depan mereka. Masih tetap berteriak dengan mantap, engkau maju sebagai orang terdepan dan sangat percaya diri. Kau lupa, manisku, di balik duri-duri yang telah berhasil kau porak-porandakan berdiri orang-orang yang telah siap menarik pelatuk mereka masing-masing.
Apakah ini hari terakhir untuk menikmati betapa manisnya wajahmu yang selalu tertutup jilbab putih itu? Aku tak pernah menantikan jawabannya. Biarlah semuanya mengalir. Aku cuma punya keyakinan, jika Tuhan bisa mempertemukan kita kembali, kenapa Dia tidak bisa mempersatukan kita?
Suatu hari, aku pernah mengenalmu. Bukan sebagai seorang anggota di organisasi perempuan, juga bukan sebagai Kartini yang terus menuntut hak-hakmu. Melainkan aku mengenalmu sebagai Erna, seorang wanita dengan jilbab yang melengkapi indahnya dirimu. Kalaupun akhirnya engkau menjadi seorang demonstran, itu hakmu dan aku tak pernah melarangnya. Namun ada catatan yang perlu engkau ketahui, bahwa aku sangat mencintaimu dan tak ingin kau terluka karena aktivitasmu.
Saat itu sore diselimuti dengan awan gelap, ketika engkau gelisah menunggu kedatangan seseorang untuk menjemputmu pulang.
"Menunggu siapa, mbak?" akhirnya aku mendekatimu dan melontarkan pertanyaan itu.
Engkau tak menjawab, melainkan melampirkan senyuman serta sedikit menggeser posisi dudukmu seakan mempersilahkanku untuk ikut-ikutan masuk dalam keresahanmu.
"Kok, ndak dijawab sih mbak?"
"Saya mau menjawab pertanyaanmu. Tapi sebelumnya tolong jangan panggil saya dengan sebutan Mbak." Begitu lembut dan sopan suara itu.
"Lalu saya harus memanggil apa?"
"Panggil saja saya Erna."
"Baiklah. Sedang menunggu siapa Erna?" Kuulangi pertanyaanku dibarengi dengan turunnya air hujan yang tiba-tiba menderas.
Perkenalan yang dingin. Namun aku sangat menikmatinya. Senyummu yang terlampir, selalu hadir ketika hujan datang. Juga dengan bahasamu yang sopan. Sama sekali aku tak pernah mengira bahwa engkau adalah seorang aktivis pada saat itu. Jujur saja, tak peduli siapa dirimu. Aku tertarik padamu dan dengan arogan aku berani untuk mencintaimu.
Suasana di halaman gedung milik wakil rakyat semakin memanas. Aparat keamanan semakin merapatkan pagar betisnya siap dengan tameng dan senjata di tangan. Namun kau sama sekali tidak gentar. Dengan kamera yang siap kubidikkan, aku terus mengamatimu. Tapi apa yang harus kujepret, sementara ketakutan-ketakutan terus menghantuiku.
Kau berdiri tepat di depan maut. Kedua tanganmu meraih kain merah yang sejak tadi melilit di kepalamu, untuk kemudian kau gantungkan di leher salah seorang dari mereka.
"Gila!" teriakan itu reflek keluar dari bibirku bersamaan dengan jari telunjuk yang menekan tombol blitz. Tepat terbidik. Kemudian aku memasrahkan semuanya kepada Tuhan.
***
"Sepertinya aku mencintaimu, Erna." Akhirnya aku berani mengutarakan itu setelah perkenalan yang dulu membuat kita semakin akrab.
"Ya," Jawabmu singkat yang lagi-lagi disertai dengan senyuman. "Mencintai dan dicintai adalah hak. Dan ketika engkau mengucapkan itu, tak satupun yang berhak untuk melarangnya."
"Lantas?"
"Lantas… silahkan engkau menikmati cintamu. Bukan sesuatu yang sulit kan?"
"Sama sekali tidak sulit. Namun ketika hak itu kuutarakan, otomatis aku memerlukan sebuah jawaban."
"Akhirnya akupun berhak untuk menghormati rasa cintamu tanpa harus membalasnya." Jawaban yang teramat indah, untuk kemudian sedikit mendatangkan penyesalan bagiku telah mengutarakan yang kau sebut ‘hak’ tersebut. Kebekuan tercipta. Tak ada yang terjadi setelah itu selain keempat mata kita yang saling beradu menafsirkan makna dari setiap kata yang telah kita ucapkan. Kebekuan itu tidak terlalu lama terjadi. Senyumanmu yang mencairkannya.
"Namun engkau tidak perlu untuk menarik hakmu. Biarkanlah cinta itu mengalir, toh itu adalah hak, seperti yang telah kukatakan tadi. Meskipun akhirnya engkau tidak mendapat balasannya. Setidaknya dengan cinta kau bisa menjalani hidup ini dengan ketulusan."
"Absurd."
"Kupikir tidak ada yang absurd," segera kau sanggah itu, "Hidup ini sudah sangat jelas dengan berbagai macam realitanya. Sama halnya dengan cinta yang tumbuh dalam nuranimu. Bagiku sangat realistis. Kalaupun itu menjadi absurd, kaulah yang membuatnya menjadi seperti itu. Bukan kehidupan atau cintamu yang absurd." Siapa dirimu sebenarnya manis. Semula aku berpikir engkau hanya serang wanita cantik yang taat beribadah dengan jilbab di kepalamu. Namun ternyata di balik jilbabmu itu aku menemukan sesuatu yang lain. Sesuatu yang membuat diriku menjadi orang yang bodoh untuk terlalu cepat memaknai dirimu.
"Kenapa engkau terdiam? Bukankah sebelumnya engkau adalah orang yang sangat pintar menyusun kelakar, lalu kita sama-sama tertawa sebab kelakarmu."
Aku nyaris memaki diriku sendiri.
"Aku cuma tidak menyangka kalau engkau mengucapkan itu. Semula aku berpikir engkau bisa menerima semua ini atau minimal memikirkannya untuk beberapa saat. Ternyata hari ini engkau berhasil membuatku untuk tidak mengumandangkan kelakar yang biasa membawa kita sama-sama tertawa."
"Aku bisa memakluminya. Cinta, kata yang begitu sakral untuk diucapkan. Namun ketika engkau terpaksa harus mengucapkannya, kau sendiripun harus bisa mengambil resiko dari kesakralan itu. Nikmati saja cintamu dan tetaplah berdiri sebagai dirimu sendiri. Yang jelas untuk saat ini aku belum bisa membalasnya. Tetaplah sebagai orang yang mencintai."
Akupun harus puas dengan jawabanmu tersebut. Toh itu semua tidak membuat kita menjadi jauh. Engkau tetap Erna, gadis manis dengan senyum dan kata-kata yang santun. Dan aku tetap sebagai aku yang akan selalu berkelakar dengan diiringi harapan-harapan tentang cinta.
***
Aku sudah tidak mau lagi melihat keadaan yang semakin menakutkan tersebut. Suara teriakan-teriakan perempuan yang haus dengan keadilan, peringatan dari pihak aparat, ataupun berbagai macam kemungkinan. Semuanya kupasrahkan kepada Tuhan. Untuk seorang Erna, sampai hari ini aku masih konsisten terhadap diriku sendiri sebagai orang yang mencintai.
Ikat kepalamu yang akhirnya menentukan semua ini. Cinta itu akan selalu ada dan mengabadi dalam setiap denyut nadi ini. Tak perduli siapapun dirimu. Seorang gadis berjilbab dengan senyum yang selalu terlampir, ataupun seorang demonstran yang teguh dengan idealisme-idealismemu.
"Dor…!"

Jogjakarta, 2001

Slideshow

Terima Kasih atas Kunjungan anda Lain Kali datng lagi ke sini dilihat