link href='http://imageshack.us/photo/my-images/98/sdsao.jpg/' rel='SHORTCUT ICON'/> ♥♥: Sepucuk surat Untuk Sampit

Rabu, 16 Juni 2010

Sepucuk surat Untuk Sampit

Salam Saudaraku. Bagaimana kabarmu sekarang ? Sudah lama aku tidak mendengarnya. Kondisimu sehatkah ? Apakah engkau masih perkasa ? Jujur aku sangat rindu padamu, ingin rasanya seperti dulu bermain dan bercanda bersama. Tolong beritakan keadaanmu. Mungkin lewat televisi, koran, internet atau pun apalah. Terserah. Kalau seandainya engkau tidak sempat membalas surat ini atau menelphoneku. Karena aku sangat merindukanmu.
Oya, kau dapat salam dari kawan kita Sambas dan Sanggau. Sudah dulu ya. Yang jelas kau harus balas suratku ini.
Saudaramu.
Pontianak


Surat itu datang pagi-pagi sekali. Ketika Sampit masih asik bermimpi tentang kedamaian. Ia tidak langsung membuka surat itu melainkan hanya melirik siapa yang mengirimnya. “O… dari Pontianak.” Gumamnya parau kemudian meletakkan kembali surat itu di atas meja dan bergegas pergi ke sungai karena gumpalan yang bersarang di pantatnya sudah tidak betah lagi dan memberontak ingin memerdekakan diri. Sampit pun menyetujui tuntutan gumpalan itu dan mengalokasikannya disebuah sungai di ujung jalan sana.
Selesai memenuhi tuntutan gumpalan-gumpalan tersebut Sampit kemudian kembali dan meraih surat dari Pontianak di atas meja. Sejenak dibacanya, kemudian ia manggut-manggut mengerti. “Kabarku baik-baik saja. Tapi kalau engkau mewajibkan untuk membalas surat ini, baiklah.”
Sampit bergegas masuk ke dalam kamarnya. Ia membongkar lemari kayu dan menemukan ikat kepala berwarna merah. Kemudian tangan satunya meraih bulu burung enggang yang menggantung di dinding kamar. Ia masih membongkar lemari kemudian ia temukan sebuah mangkok yang juga berwarna merah. Semua barang-barang itu dikumpulkannya di lantai, lantas ia duduk bersila setelah meraih senjata tajam seperti pedang berkepala burung yang dililit kain berwarna yang juga merah.
“Kirim balasan lewat mana ya ? Koran, televisi atau internet ? Atau kesemua-muanya ? Ya… Kesemuanya saja.” Pertanyaan itu dijawabnya sendiri. Ternyata ia berniat untuk membalas surat yang datang dari sahabat dekatnya.
Kain merah yang tadi diambilnya dari dalam lemari, diikatkan ke kepalanya beserta beberapa lembar bulu burung enggang yang berdiri gagah di belakang ubun-ubunnya. Ia menatap sebuah mangkok merah dihadapannya untuk kemudian merapalkan mantra. Secara tiba-tiba tubuhnya menjadi tegang dan gemetaran. Keringat mewabah, sementara mulutnya terus komat-kamit. Perlahan-lahan senjata yang tergeletak di samping mangkok merah tersebut berdiri. Masih gemetaran, Sampit kemudian berteriak nyaring sekali. Laksana petir. Bahkan lebih dahsyat. Menyambar-nyambar dengan garang. Tubuh Sampit terbakar. Ia terus berteriak seakan-akan tak peduli dengan tubuhnya yang terus terbakar.
“Pontianak, suratmu telah kubalas.” Ia membatin dalam hati dalam teriakan dan bara api yang menjilati tubuhnya.
Sampit ternyata tidak sedang bermain-main. Bermula dari kolom kecil di sebuah surat kabar. Yang keesokan harinya menjadi kolom yang lebih besar, terus membesar dan dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama kolom itu telah berubah menjadi berita utama. Berita tentang Sampit pun kemudian meluas ke saluran radio dan televisi. Seluruh chanel, dalam dan luar negri, memberitakan dirinya.
Tapi Sampit belum puas. Padahal saudara di sebelah baratnya, Pontianak, Sambas dan juga Sanggau kemungkinan telah mengetahui tentang keberadaan dirinya dan menganggap bahwa sampit masih perkasa. Sampit sangat belum puas. Teriakannya terus menggelegar dan dengan sedikit mantra senjata berkepala burung yang berdiri kemudian terbang mengelilingi sekitar tubuh Sampit. Menciptakan hawa panas. Teramat panas. Angin yang timbul dari putaran senjata itu mendatangkan bau busuk yang sangat menyengat. Seperti bau bangkai manusia yang tidak dikuburkan dan diawetkan.
Mangkok merah di hadapannya bergetar. Dari dalamnya muncrat darah yang masih segar. Melumuri tubuh sampit yang terbakar. Bara api dan darah itu membuat dirinya semakin menjadi merah. Darah itu terus mengalir menggenangi sungai dan hutan-hutan. Sebentar saja berita tentang keadaan Sampit telah tersebar ke seluruh penjuru dunia. Lewat majalah, televisi, internet, radio, koran bahkan negara yang tak pernah terdaftar dalam peta dunia pun ikut membicarakan Sampit. Sampit bertambah bangga dan sombong. Dalam sekejap sekujur tubuhnya telah terpampang potret kematian.
Seluruh orang yang pernah mengenalnya, menjadi resah. Termasuk Pontianak yang semula hanya menanyakan kabar karena dilanda kerinduan.
Telephone berdering dari Pontianak “Hei berhentilah. Jangan siksa dirimu sendiri ! Aku hanya ingin tau kondisimu. Bukan kesombongan yang membuatmu menjadi ganas seperti ini.” Namun semua itu tidak digubris oleh Sampit. Tubuhnya menjadi pemandangan yang mengerikan. Gumpalan asap menjulur, menombak matahari. Sementara masih terbakar dan berteriak sangar, di usus Sampit yang menyerupai jalan raya yang berkelok-kelok terhampar ribuan mayat tanpa kepala.
“Ke mana kepala-kepala itu ? Kenapa mereka yang telah menjadi bangkai tidak dikuburkan ?” Komentar bermunculan. Pemandangan di usus Sampit membuat banyak celoteh dari mereka yang menyaksikan dari layar kaca namun tidak mengetahui kejadian yang sebenarnya.
Pemerintah tidak tinggal diam. Dari berbagai pelosok daerah, didatangkan berbagai macam bantuan. Dari aparat keamanan, makanan, hingga angkutan untuk membawa sebagai dari mereka yang masih selamat dalam tubuh Sampit mengungsi ke tempat yang lebih aman.
“Bagaimanapun juga mereka harus segera diungsikan. Kalau masih ingin hidup.” Ujar pejabat pemerintahan yang hanya bisa berkomentar dari balik meja di kantornya.
“Wahai Pontianak, Sambas, Sanggau atau pun siapa yang lainnya. Inilah aku, yang juga bisa melakukan pembakaran terhadap diriku sendiri. Yang juga bisa memenggal kepala dan menjadikannya bola untuk anak-anak kecil yang hidup dalam perutku. Dengarlah seruan ini Saudaraku. Takkan ada lagi bakteri di tubuh ini dan kita akan selamanya menjadi orang-orang perkasa !” Teriakan Sampit menggelegar. Memecahkan gendang telinga. Merobek cakrawala. Sementara saudara-saudaranya hanya bisa mengurut dada. Mereka merasa pernah berbuat serupa dengan apa yang dilakukan Sampit. Mereka dulu juga pernah menjadi kaum-kaum sombong yang berhasil membantai habis seluruh bakteri di tubuhnya. Mereka menjadi disegani di mata dunia karena keperkasaannya. Namun setelah semua itu berakhir. Setelah kejadian yang selalu diakhiri dengan kematian dan pembungihangusan itu, mereka juga merasakan kesakitan.
“Semua yang kau lakukan itu hanya sia-sia, Saudaraku !” Teriak Sambas dari kejauhan. Namun tak didengar oleh Sampit yang terus membabi buta memamerkan kesaktiannya. Membakar tubuhnya sendiri, mejadikan aliran Mentaya berwarna merah dan mengoleksi kepala-kepala yang berhasil ditebasnya.
“Kau lihatlah sekarang tubuhku ini,” Sambas tak menyerah untuk memperingati sahabatnya. “Aku sekarang menjadi orang yang cacat. Kakiku lumpuh. Otakku tak bisa bekerja dengan tenang sehingga berbagai macam pengoperasian di tubuhku morat-marit. Sementara tak ada yang mau mengulurkan tangannya untuk membantu merenovasi tubuhku. Kalau pun ada, ah mereka hanya ingin mencari muka pada dunia dan setelah itu mengeruk keuntungan dari bantuan yang telah mereka keluarkan. Lalu bagian dari mereka yang lain hanya bisa mengejek dan menghinaku. : Rasakan perbuatanmu sendiri. Bukankah cacat yang kau alami itu merupakan buah dari ulahmu ?! Itu yang mereka katakan padaku. Sampit…, kumohon padamu, hentikan semua itu !” Sambas, orang yang merasa pernah melakukan hal yang serupa seperti Sampit terus memperingati.
Sedangkan Sampit, yang selama ini dianggap pendiam oleh kawan-kawannya, telah berubah menjadi garang. Mereka, saudara-saudara Sampit, hanya bisa mendapatkan tubuh Sampit menjadi puing-puing dan mengeluarkan bau amis mayat serta genangan darah di mana-mana. Darah dari tubuh yang tergeletak tanpa kepala.
Sementara yang masih selamat, yang kini berada dalam tempat penampungan hanya bisa pasrah dan berdoa. Perlawanan adalah hal yang sia-sia. Hanya beberapa yang berani melakukan perlawanan, itu pun mereka yang sudah tak punya tujuan hidup atau pun mereka yang mempunyai rasa cinta yang teramat tinggi terhadap golongannya. Sedangkan yang lain sibuk mengumpulkan air mata, dimasukkan ke dalam gelas untuk diminum kembali sebagai persiapan kalau-kalau air mata itu harus mengalir lagi. Diminum lagi mengalir lagi, begitu terus menerus entah sampai kapan.
Oleh Sampit mereka yang masuk hanya dianggap bakteri. Mungkin benar, bahwa ada yang menjadi bakteri bagi Sampit, tapi itu hanya sebagain kecil dari mereka. Sedangkan mereka yang lain, yang datang dengan penuh kedamaian juga cinta kasih harus merasakan akibatnya. Namun tak satu tempat pun yang bisa dijadikan tujuan untuk mengadu yang diharapkan banyak membantu. Kemana-mana mereka melakukan pengaduan. Tapi harapan hanya berupa harapan yang kemudian terbang bersama angin kematian
Hari ini Sampit mungin boleh tertawa karena dia merasa telah berhasil membakar dirinya sendiri dan menjadikan tubuhnya sebuah lukisan yang sangat mengerikan bersama aroma bangkai yang menghancurkan setiap hidung yang menciumnya. Tapi besok, ketika semuanya telah menjadi sejarah. Tak satu pun yang dapat mengetahui kondisi tubuh Sampit. Keperkasaannya hari ini kemungkinan akan berakhir dengan penyakit yang berkepanjangan seperti yang dialami sahabat-sahabatnya terdahulu yang juga melakukan hal dan kesombonngan yang sama. Sombong terhadap orang-orang yang ingin berteduh dan merasakan sejuknya aliran sungai dan merdunya nyanyian dedauanan di hutan. Mereka cacat dan tak tau kapan cacat itu akan sembuh. Jasmani dan rohani saudara-saudara Sampit sangat merasakan duka. Sementara permohonan bantuan hanya dibalas cibiran bibir dari para tetangga yang lain. Kalau pun ada bantuan mungkin datang dengan rasa yang sangat tidak ikhlas dan suatu saat bantuan itu akan dikalkulasikan lalu akan ditagih kembali yang pada akhirnya juga akan berakibat kerugian. Tak ada yang dapat dibanggakan dari kesombongan.
Kepada saudara kami yang sedang terbakar. Sampit.
Kami mohon maaf telah menanyakan kabar tentang dirimu kemarin. Sebab engkau tidak menanggapinya dengan positif. Kami tidak bisa sepenuhnya menyalahkan dirimu. Karena di balik dedaunan, kami mendengar derai tawa mereka yang selama ini bersembunyi di celah pantat kami. Kini, ketika kami berusaha mencari mereka, mereka telah hilang. Dan kemungkinan saat ini mereka telah berada di telingamu dan terus mengipas-ngipasi tubuhmu yang terbakar hingga terus terbakar. Setelah itu mereka akan terbahak-bahak sambil menikmati sedapnya teh di belakang meja.
Maafkan kami, teriring salam dan doa dari senja yang tenggelam di sebelah baratmu.
Saudaramu
Pontianak-Sambas-beserta mereka yang lain
Yang mengalami hal serupa seperti dirimu.


Surat itu datang pagi-pagi sekali ketika sampit sibuk membakar dirinya sendiri. Ia tak sempat membacanya. Melainkan cuma meletakkannya di atas meja bersama segelas kopi yang tak sempat diminumnya kemarin. Untuk akhirnya surat itu terbang terbawa angin dan melekat di tubuh Sampit yang sedang terbakar. Hangus dan amis.

Jogjakarta, Februari 2001

Slideshow

Terima Kasih atas Kunjungan anda Lain Kali datng lagi ke sini dilihat