link href='http://imageshack.us/photo/my-images/98/sdsao.jpg/' rel='SHORTCUT ICON'/> ♥♥: Ranjang

Rabu, 16 Juni 2010

Ranjang

Inilah masa awalku untuk menjalani kehidupan dengan sesuatu yang baru, setelah hari-hari lajangku harus diakhiri dengan sebuah acara sakral yaitu pernikahan. Demikian pula halnya dengan Sukma. Istriku.
Malam yang sangat melelahkan, satu harian aku hanya menghabiskan waktu di kursi pelaminan didampingi istriku. Menyaksikan mereka menyantap hidangan dan setelah itu menyalami kami berdua sebelum akhirnya pulang disertai ucapan selamat. Namun di balik kelelahan itu, malam ini adalah malam yang paling menggembirakan bagiku dan hampir dipastikan Sukma pun merasakan hal demikian. Karena inilah malam ketika malaikat-malaikat yang bertebaran dimuka bumi merasa iri menyaksikan kami yang sebentar lagi akan melangsungkan ritual paling membahagiakan.
***
Tiga tahun aku dan Sukma berpacaran. Penuh suka duka layaknya orang lain bercinta. Aku masih ingat ketika pertama kali bertemu Sukma disebuah jalan raya. Ketika ia sedang istirahat di bawah pohon akasia setelah lelah berteriak bersama kawan-kawannya yang mahasiswa.
“Demo menuntut apa mbak?”
“Ranjang.” Jawabnya pelan tanpa memalingkan wajah.
“Lho?” Jelas aku heran. Tidak seperti biasanya. Kenapa ranjang? Bukan masalah politik, atau pelanggaran HAM, atau penembakan, atau perjudian, atau KKN, atau BBM, atau Amerika, atau sosial, atau ini, atau itu dan atau-atau yang lain. “Emangnya ada apa dengan ranjang mbak?” Lanjutku bertanya. Tapi tak dijawab olehnya, malah ia berdiri dan melangkah menyusul kawan-kawannya yang kembali bergerak menuju tempat orang-orang yang dipercaya oleh rakyat. Duduk-duduk, Pesta-pesta, Rapat-rapat.
Terus terang saja aku jadi tertarik. Pertama tentang masalah ranjang yang jadi tema sebuah demonstrasi. Kedua, ya kuakui dia seorang aktivis yang sangat cantik. Sayang dia memilih jalan untuk menjadi orang yang sibuk mengurusi sesuatu yang belum tentu juga mau memikirkannya, malah kemungkinan terbesar mereka dicuekin. Alangkah lebih baik seandainya dia menjadi pragawati, atau model sampul majalah remaja atau malah artis sinetron. Bahkan jadi bintang pornopun itu lebih menguntungkan baginya. Ah sudahlah. Secara diam-diam – karena ketertarikanku dengan dua hal tadi – aku pun mengikuti barisan itu, terlebih khusus mengikutinya. Seorang gadis yang menjadi aktivis.
Sesampainya di gedung tempat Duduk Pesta dan Rapat melulu itu, berbagai orasi kembali menggelegar. Aku terus mengamati. Dari kejauhan kulihat dia, gadis yang baru kukenal tanpa tau namanya berdiri di tempat yang agak tinggi dari ribuan demonstran.
“Kawan-kawan, negara kita telah hancur berantakan. Tahukah kawan-kawan apa penyebabnya?”
“Ranjaaaaang!” Teriak mereka serempak.
“Benar. Kemajuan zaman yang teramat pesat, membuat banyak bermunculan ranjang-ranjang dengan berbagai model. Yang membuat kita bisa lebih enak tidur dan bersenggama. Tapi di balik itu, ternyata dari ranjang-ranjang itu pulalah telah lahir manusia-manusia yang tak tahu aturan!” Tepuk tangan dan teriakan sepakat ribuan orang menggetarkan gedung di depan mereka.
“Maka kami menuntut Bapak-Bapak yang katanya mempunyai jiwa kerakyatan. Musnahkan seluruh ranjang di negara ini. Ganti semuanya dengan tikar pandan. Hingga ketika kalian bersetubuh dengan istri, ataupun pelacur di jalan raya, ataupun dengan anak sendiri, nikmatilah semua itu seperti rakyat, yang lahir dan menangis di tikar pandan!”
“Sepakat...!”
Ooo ternyata itu yang jadi permasalahannya. Jadi negara ini menderita hanya gara-gara ranjang. Dulu waktu ibu bapakku sepakat untuk membuatku, mereka becumbu dimana ya? Tak lama setelah itu...
“Dor... dor... dor...”
“Nah inilah bukti dari semua itu kawan-kawan!” Ternyata tembakan ke udara tak membuat mereka menghambur menyelamatkan diri, malah semakin bersemangat. “Tembakan yang barusan kita dengar itu berasal dari anak-anak yang lahir dari nafsu. Karena keempukan ranjang milik orang tuanya memang menawarkan semua itu!”
Dor... dor... dor...
***
Itulah awal aku bertemu Sukma, sampai akhirnya kami berkenalan lebih jauh, memadu cinta dan selanjutnya – malam ini – dia telah menjadi milikku seutuhnya lahir dan batin. Termasuk sepasang buah dadanya yang siap kulumat malam ini.
“Apakah kau siap sayangku?”
“Ya, aku siap suamiku,” Kemudian dia berdiri dan menanggalkan seluruh pakaian yang melekat diseluruh tubuhnya. Namun apa yang dilakukannya kemudian? Astaga. Istriku yang bukan lagi seorang mahasiswi yang dulu doyan demo, menggelar sebuah tikar pandan di lantai. Jelas ini sangat merugikanku. Tiga tahun aku menunggu saat-saat sepeti malam ini. Dimana aku bisa leluasa menikmati tubuhnya di atas sebuah springbed yang sangat indah dan empuk. Dan kini? Oh my God...
“Sayang, saat ini kau adalah istriku. Bukan aktivis di jalan raya yang berteriak-teriak menuntut ini dan itu.”
“Benar suamiku. Aku adalah sah istrimu. Tapi apakah aku harus mengkhianati idialismeku sendiri? Tidak. Ayolah manis, aku hanya takut jika kita lakukan ini di ranjang itu, nanti anak-anak kita yang lahir tak pernah mau memikirkan rakyat kecil. Hanya mau yang enak saja, manja dan mungkin menjadi salah satu tokoh yang membuat negara ini bertambah hancur.” Sukma menjelaskan panjang lebar. “Ayolah, mari kita buat malam ini menjadi sejarah terindah sepanjang hidup kita.”
Hah, akhirnya aku menuruti kata-katanya. Susah bergaul dengan orang intelek. Tapi biarlah, toh jika aku lanjutkan perdebatan, ini akan membuang waktu. Bahkan bisa jadi malam ini tidak digelar pertunjukan romatis, malah menjadi sebuah debat kusir yang tak pernah ada kesimpulannya. Seperti yang biasa terjadi di tv-tv swasta, antara mahasiswa dengan tokoh politik, atau tukang sayur di pasar dengan ahli-ahli ekonomi, atau entah model debat macam apa. Yang jelas aku hanya ingin menjadikan malam ini begitu indah. Walaupun mengalah, toh posisiku tetap di atas.
Demikianlah aku melewati malam-malamku bersama Sukma di atas sebuah tikar pandan. Kami hanya menggunakan ranjang bila tidur siang, atau berdongeng tentang perjuangan, atau berbual-bual sembari sesekali terdengar rayuan, dan akhirnya untuk yang satu itu kami kembali melakukannya di tikar kesayangan sang istri.
Terus kulalui kehidupan seperti itu. Seminggu berlalu, sebulan lewat, setahun tiba dan akhirnya anak pertama kami lahir. Tidak di rumah sakit, namun di rumah kami dengan pertolongan seorang dukun beranak dan lagi-lagi di atas sebuah tikar pandan. Seorang bayi laki-laki yang gagah. Matanya memancarkan sinar kesegaran dan keperkasaan.
“Siapa akan kita beri nama bayi ini, istriku?”
“Revolusianto!” Jawabnya tegas dan segera menutup mulutku ketika aku mencoba berkomentar. “Anak inilah yang akan membangun negeri yang sakit ini, suamiku.” Aku hanya menghela nafas panjang. Ternyata istriku masih memiliki sifat-sifat mahasiswanya. Kenapa aku mempunyai istri seorang aktivis? Namun ini bukan berarti penyesalan. Lagi pula semua maksud Sukma baik, meskipun menurutku dia terlalu berlebih-lebihan ketika memikirkan negara ini. Kita lihat saja nanti. Seperti apa nantinya anak-anak kami.
Kelahiran Revolusianto ternyata tidak merubah pendirian Sukma, tentang bagaimana kami beromantisme di malam hari. Mungkin di dunia ini, akulah satu-satunya suami yang tidur dengan istrinya di atas sebuah tikar pandan yang semakin hari semakin usang dan mulai didiami rayap. Padahal di sebelah tikar itu, di sebelah tempat kami saling tindih, terhampar sebuah springbed menawan buatan Italia. Oh dunia, kapan aku bisa menikmati tubuh istriku di ranjang itu. Tak ada jawaban. Kecuali gigitan rayap untuk yang ketiga kalinya ke punggungku ketika aku sedang asik bermesraan dengan sukma.
“Sialan.” Gerutuku.
“Ada apa sayang?”
“Ah, tidak ada apa-apa kok.” Memang tidak ada orang, kecuali Revolusianto yang sedang tidur nyenyak dan mungkin tengah bermimpi bahwa ia baru saja menjatuhkan seorang Presiden di negeri ini.
“Bukan orang tapi rayap. Sudah tiga kali dia mengigitku.” Aku berharap semoga pengaduanku bisa merubah pemikiran Sukma.
“Pindah yuk ke dekat Anto.” Ajakku. Setidaknya lebih baik dilihat buah hati kami dari pada rayap. Lagi pula biar Anto tahu bagaimana cara menggauli istri yang baik kelak.
Namun ternyata semuanya gagal. “Inilah yang dirasakan rakyat-rakyat itu suamiku. Tak pernah mereka merasakan kenikmatan yang murni.” Sukma beralasan. Tapi kali ini aku tidak bisa tinggal diam. Mari kita berdebat wahai manisku yang aktivis.
“Ok Sukma. Aku terima semua pemikiran intelekmu.” Kumulai perdebatan yang menghentikan persenggamaan kami yang pada waktu itu belum sampai puncak. “Tapi apa semua celotehmu dan kawan-kawanmu dulu pernah digubris oleh pejabat-pejabat di atas sana?!”
“Lho, kamu kok jadi egois begitu sih?”
“Jelas aku seperti ini, bertahun-tahun aku menunggu saat-saat indah bagaimana kita di atas ranjang. Namun hanya karena idealismemu yang tak jelas itu, mimpiku tak terwujudkan!”
“Tak jelas bagaimana maksudmu. Alasanku cukup logis, bahwa ranjang-ranjang itulah yang telah...”
“Cukup. Jangan kau teruskan itu. sudah ribuan kali aku mendengarnya. Kalau kau memang seorang intelektual tinggi, coba pikir! Apakah dengan semua ini negara kita bisa berubah?”
“Bisa. Minimal mereka bisa merasakan bagaimana rasanya hidup menjadi orang miskin.”
“Ah... bullshit dengan semua itu!” Aku setengah berteriak. Dan ternyata membuat Revolusianto bangun dan merengek. Otomatis gencatan senjata terjadi. Dan aku tak bisa berbuat apa-apa. Kecuali merebahkan kembali tubuhku di tikar brengsek dan lagi-lagi rayap-rayap bangsat itu menggigiti tubuhku.
“Rakyat..., apa itu rakyat?”
***
Bertahun-tahun kujalani kehidupan yang semakin membuatku muak. Revolusianto tumbuh menjadi anak yang cerdas berkat didikan ibunya menyusul kelahiran adik-adiknya. Reformasiwati, Intelekmawan dan Merdekawati. Dan Sukma masih mempunyai sederetan nama-nama aneh lainnya jika kelak anak kami kembali lahir.
Sukma, tak inginkah kau punya anak dengan nama Mawar, Melati, atau Surya, Wulan, bahkan mungkin Siti, Abdullah, atau apalah. Tak ada yang menjawab, karena memang aku tidak pernah melontarkan pertanyaan itu kepada istriku. Mungkin aku malas berdebat, atau mungkin aku takut? Ya, mungkin saja aku takut padanya.
Tapi sampai kapan aku bisa bertahan seperti ini terus. Sementara istriku terus berbicara tentang keadilan, tapi aku tak pernah mendapat keadilan itu. Keadilan sebagai suami tentang kebutuhan biologis yang wajar. Dari hari ke hari pikiranku terus dikerumuni dengan berbagai kegelisahan. Sampai kapan... sampai kapan... sampai kapan. Atau sampai matikah aku tidak bisa mewujudkan impianku? Tidak.
Hingga suatu malam, ketika anak-anak tengah berdiskusi tentang apa itu demokrasi kerakyatan di teras rumah. Dan Sukma sedang sibuk membaca surat kabar yang tidak sempat dibacanya tadi pagi. Aku nekat meracuni istriku. Ya, aku nekat. “Rakyat kok minum susu?” Bisikku pelan kepada segelas susu milik Sukma sebelum kumasukkan bubuk racun ke dalamnya. Matilah kau manisku. Dan benar, Sukmapun mati setelah meminum susunya.
Ayolah manis, bertahun-tahun ranjang itu menunggu kita. Tanpa panjang lebar berargumen (karena argumen panjang lebarpun hasilnya tetap itu-itu saja. Puas sepihak) langsung kurebahkan mayat istriku yang telah bugil. Dan kusetubuhi dia di atas sebuah springbed buatan Italia disusul tepuk tangan anak-anakku yang ternyata mengintip dari jendela yang lupa kututup.
“Hidup Ayah...”

Jogjakarta, 1999

Slideshow

Terima Kasih atas Kunjungan anda Lain Kali datng lagi ke sini dilihat